Post Terbaru

Mencari Jejak Max Havelaar di Lebak [NatGeo.com]



Tentu novel Max Havelaar oleh Multatuli (alias Eduard Douwes Dekker) sudah tidak asing di telinga kita. Sejak SD hingga SMA nama ini selalu masuk dalam buku sejarah. Novelnya cukup kuat untuk merubah kebijakan bangsa Belanda saat itu terhadap Hindia Belanda. Namun siapa sangka hidupnya tidak berjalan semujur karyanya. Come to think of it, he deserve a better life!

Semoga bermanfaat.

Mencari Jejak Max Havelaar di Lebak

Novel Max Havelar karya Multatuli memang pernah mengguncang Negeri Kincir Angin, hingga Hindia Belanda. Apakah kisahnya sungguh terjadi?

Rumah Bupati Lebak. Raden Adipati Karta Natanagara, seorang bupati Lebak pada 1830-1865, pernah tinggal di rumah ini. Eduard Douwes Dekker berkisah tentang perilaku Sang Bupati dalam Novel "Max Havelaar". Novel itu terbit pada 1860 di Belanda. (Mahandis Y. Thamrin/NGI)

Selepas Rangkasbitung, poster-poster wajah peserta Pemilukada Kabupaten Lebak, Provinsi Banten, tampak menawarkan semangat perubahan kepada warga. Mungkin semangat yang sama pernah muncul di benak Multatuli, nama pena dari Eduard Douwes Dekker dalam novelnya Max Havelaar.

Lelaki kelahiran Amsterdam itu pernah ditunjuk oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda Duymaer van Twist sebagai asisten residen di Lebak pada Januari hingga April 1856. Kala itu Lebak adalah suatu wilayah terpelosok di bawah residensi Banten.

Novel dengan judul asli Max Havelaar, of de koffie-veilingen der Nederlandse Handel-Maatschappij itu terbit pada 1860 di Belanda. Eduard berkisah tentang pengamatannya soal praktek pemerintahan lokal dalam masa Cultuurstelsel—tanam paksa—pada pertengahan abad ke-19 di Lebak.

Kelak, novel ini memberi perubahan besar terhadap pandangan negara penjajah terhadap rakyat yang dijajahnya. Akhirnya, Cultuurstelsel pun dihapus pada 1870. Eduard telah membongkar kebobrokan Hindia Belanda dan berjuang tanpa memandang ras.

Beranda depan rumah bupati Lebak yang teduh ini dihiasi empat pilar gaya tuskan. Asisten Residen C.E.P. Carolus (dalam novel Max Havelaar bernama Slotering) diduga diracun oleh Bupati Raden Adipati Karta Natanagara saat diundang makan malam (Mahandis Y. Thamrin/NGI)

Di selatan alun-alun Lebak, berdiri rumah berarsitektur indis bercat putih bersih. Kelima anak tangganya mengantarkan tetamu menuju beranda luas dengan empat pilar gaya tuskan. Anggun dan memesona.

Pendapa yang berada di depannya juga tetap dipertahankan, baik lantai maupun pilarnya. Pada pertengahan abad ke-19, di rumah itulah Bupati Raden Adipati Karta Natanagara tinggal. Warga setempat menyebutnya Regen Sepoeh, seseorang yang sangat ditakuti sekaliguis dihormati di Kabupeten Lebak.

Semua orang yang pernah membaca novel Max Havelaar—atau menonton film produksi 1976 garapan Alphonse Marie Rademaker dengan judul yang sama—pasti ingin memasuki rumah cantik itu. Mungkin orang akan menebak-nebak: di ruangan mana Slotering diracun oleh Sang Bupati tatkala diundang makan malam? Slotering merupakan nama yang disamarkan Eduard untuk C.E.P. Carolus, Asisten Residen sebelum Eduard, yang diduga tewas diracun oleh Sang Bupati.

Natanagara menjabat Bupati Lebak periode 1830-1865. Makamnya yang terletak di belakang Masjid Agung Lebak—tepat di sisi barat alun-alun—tampak sangat sederhana. Dalam novel Max Havelaar, dia dikisahkan sebagai seorang feodalistis yang kerap menindas rakyat. Bahkan, di halaman rumah itulah bupati memerintahkan warga desa untuk kerja paksa mencabuti rumput.

Sejatinya Eduard marah melihat ketidakadilan di Lebak. Betapa rakyat Lebak miskin, sementara bupati mereka hidup bergelimang kemewahan. Bahkan menantu sang bupati, Demang Raden Wirakusuma, kerap berperilaku kasar dan memeras warga. Perilaku dua tokoh itu dikisahkan melebihi penjajah. 

Bagi warga Lebak, nama "Multatuli" telah diabadikan menjadi nama salah satu jalan raya utama yang menuju ke kawasan alun-alun. Wawan Sukmara selaku Kabid Budaya pada Dinas Pemuda, Olahraga, Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Lebak berkata, “Banyak tinggalan bangunan zaman Belanda di Lebak, namun Max Havelaar telah menjadi salah satu ikon kota ini.”

Berkait dengan penggambaran Natanagara dalam novel tersebut, Wawan berkata, “Warga Lebak masih melihat dia sebagai sosok yang terhormat.” Sementara, perihal pro dan kontra warga soal Eduard sebagai tokoh dalam sejarah Lebak sekaligus pejuang kemanusiaan, dia berkata, “Kami masih membutuhkan penjelasan dari ahli sejarah sehingga kami bisa menempatkan diri nantinya.”

Eduard berhasil menggambarkan situasi saat itu dalam novelnya, bahwa pribumi telah ditindas tidak hanya oleh penguasa kolonial, melainkan juga oleh penguasa lokal—bahkan lebih kejam. “Sistem penggajian memang telah menggantikan sistem upeti”, kata sejarawan Ery Sandra Amelia Moeis yang akrab disapa Ere Moeis, ketika berkunjung ke Lebak.

“Namun kenyataannya para pegawai pemerintahan pribumi belum sepenuhnya meninggalkan pola lama—feodal.” Akibatnya, eksploitasi penduduk itu justru dilakukan oleh para bupati atau demang.

Bekas rumah asisten residen di Lebak. Eduard Douwes Dekker dan keluarganya diduga pernah tinggal di rumah ini. Sayangnya, hanya sebagian kecil dari rumah berarsitektur indis ini yang selamat. Kini, situs ini menjadi salah satu cagar budaya Propinsi Banten (Mahandis Y. Thamrin/NGI)

Rumah Eduard tak jauh dari alun-alun. Halaman depannya yang dahulu pernah dihiasi kolam kini menjelma menjadi bagian kompleks RSUD dr. Adjidarmo. Kondisi rumah itu pun sangat memprihatinkan lantaran tidak utuh lagi—diperkosa bangunan baru. Hanya menyisakan sebagian atap, dinding samping, dan dinding belakang. 

Novel yang berlatar budaya feodal dan masyarakat miskin di Lebak 1850-an ini memang melejitkan nama Eduard Douwes Dekker—dan menghentikan sistem tanam paksa. Namun, ironisnya hingga hari ini Lebak masih menjadi salah satu kabupaten termiskin di Banten. Seorang pamong praja berkata dengan nada optimis, “Nanti tahun 2014 kita telah bebas dari kemiskinan!”

Sungguh kehidupan yang dramatis, nasib Eduard tak semujur novelnya. Setelah tidak bekerja sebagai pegawai pemerintah Hindia Belanda, dia kembali ke tanah kelahiran. Berbagai profesi dari redaktur hingga juru bahasa telah dicoba, namun kandas.

Kemudian meja judi menjadi pelarian Eduard, hingga dia jatuh miskin. Dia pindah ke sebuah kota pinggiran Sungai Rhein di Jerman, Ingelheim am Rhein. "Akhirnya, dia meninggal sebagai gelandangan," ujar Ere. "Dia tidak punya rumah."

Eduard memang pernah menjadi asisten residen di kota ini, namun apakah novel Max Havelaar merupakan kisah sejarah? Ere menuturkan bahwa tokoh-tokoh, peristiwa dan tempat yang disebutkan dalam karya Eduard memang pernah ada. Sementara, perilaku bupati yg memerintahkan rakyatnya untuk serahkan upeti dan kerja paksa merupakan hal wajar yang terjadi di beberapa daerah saat itu. “Kita percaya karena fenomena dalam novel itu benar terjadi di Hindia Belanda masa Cultuurstelsel.”
Read more ...

Ironi Sebuah Kotak Usang

kotak usang

Sayup-sayup alunan lagu L'arc en Ciel mengalir di udara. Hitomi no Jyuunin, jika saya tak salah mereka. Lagu itu semakin jelas seiring hentakkan kaki mendekat. Setelah dua-tiga anak tangga dinaiki, sampailah saya di depan pintu itu. 

"Hoi!" sahut saya.

Empunya kamar berbalik dan balas menyapa. Terpampang wajah teman lama, 10 tahunan-lah. Setelah duduk dan berbincang layaknya teman yang lama tidak bertemu saya melihat sekeliling. Di atas meja belajar ada laptop yang sedang memainkan musik L'Arc en Ciel. Dilemari terdapat puluhan manga Jepang, sedang diatasnya tersimpan tiga buah figurine Gundam. Empat buah katana terpasang manis diatas tembok bercat biru. Tak lupa drawing pen dan kertas-kertas gambar dibawah laci meja.

Topik pembahasan tidak jauh dari hal itu: anime, manga, jepang dan game. Pembahasan yang sama seperti SMP. Tepatnya sepuluh tahun laluThey may be old by age but they don't age at all. Sempat mencoba ganti topik ke politik, ekonomi, olahraga atau paling tidak meme Syahrini yang lagi hot. But all I got is cold response. And we stick on talking anime again.

Somehow suasana ini terasa nyaman dan nostalgic, tapi sekaligus asing.

Ada masanya hal-hal diatas sangat menarik untuk diikuti. Akan tetapi kita tidak bisa selamanya begitu. Seiring waktu, manusia berkembang. Salah satunya dari pengalaman hidup. Empat tahun lalu saya lepas dari rutinitas lama *bongkar* dan mulai merantau di tanah orang, berteman se-Indonesia, dilatih Kopassus, berkomunitas dan berorganisasi sehingga sedikit banyak membuka mata pada banyak hal. Point of view dan interest perlahan berubah.

Dan tampaknya hal ini tidak berlaku pada semua orang.

Kadang berfikir, benar apa kata Imam Syafi'i, orang takkan banyak berkembang bilamana hanya stay disatu tempat:

Orang berilmu dan beradab tidak akan diam di kampung halaman
Tinggalkan negerimu dan merantaulah ke negeri orang

Merantaulah, kau akan dapatkan pengganti dari kerabat dan kawan
Berlelah-lelahlah, manisnya hidup terasa setelah lelah berjuang

Aku melihat air menjadi rusak karena diam tertahan
Jika mengalir menjadi jernih, jika tidak, kan keruh menggenang

Singa jika tak tinggalkan sarang tak akan dapat mangsa
Anak panah jika tak tinggalkan busur tidak akan kena sasaran

Jika matahari di orbitnya tidak bergerak dan terus diam
Tentu manusia bosan padanya dan enggan memandang

Bijih emas bagaikan tanah biasa sebelum digali dari tambang
Kayu gaharu tak ubahnya seperti kayu biasa
Jika didalam hutan

Jadi ingat apa kata salah satu peserta dari Klub Filosopi di Bandung yang intinya: Tiap manusia terlahir bebas akan tetapi saat tumbuh besar akan terkotak-kotak oleh lingkungannya. Agar menjadi bebas kembali manusia harus keluar dari kotaknya. Masalahnya adalah hampir semua orang sudah merasa betah dan nyaman dengan kotak yang mereka miliki dan takut kotak lain tak senyaman kotaknya!

Berdasarkan pengalaman bertemu berbagai makhluk, saya pribadi berpendapat selalu berpindah dari kotak ke kotak lain saat mulai terasa nyaman memang lebih baik dari pada tetap tinggal dan tidak berkembang.

#udahituaja
Read more ...
Designed By